9 Hal yang Saya Pelajari dari Startup Tahap Awal (Early Stage)
Sekitar 9 bulan yang lalu saya putuskan untuk meninggalkan pekerjaan saya yang nyaman di startup unicorn bernama Go-Jek dan pindah ke startup kecil yang baru saja dimulai. Keputusan itu sangat berat, selain karena saya sudah membangun hubungan yang kuat dengan tim, orang tua yang lebih mendukung pekerjaan saya yang nyaman di Go-Jek, dan yang paling penting meninggalkan Bos atau manager saya yang saya kagumi dan sangat membantu dalam karir saya. Namun startup ini memberikan tempat saya bereksperimen untuk mulai belajar arti dari kewirausahaan atau entrepreneurship. Untuk mempermudah cerita, sebut saja ini adalah startup X.
Kembali ke saat ini, 9 bulan kemudian, saya kembali dihadapkan persimpangan untuk memilih untuk terjun basah di startup saat ini atau berpindah kapal mengarungi badai dengan startup yang lain. Apapun yang akan saya pilih nantinya, berikut 9 hal yang saya pelajari dari bekerja dengan startup tahap awal atau yang biasa disebut early stage startup. Pada startup ini saya bekerja sangat dekat dengan Technical Co-Founder (CTO), VP Engineering, dan Co-Founders lainnya.
Pelajaran #1: Jangan Berekspektasi Tinggi
“The secret to happiness is having low expectations.” -Warren Buffet
Ada satu filosofi yang saya ambil dari Billionaire terkenal, Warren Buffet, dan filosofi itu penting untuk selalu diingat dan dipertimbangkan namun kadang saya lupa. Filosofi itu adalah rahasia dari kebahagiaan adalah memiliki ekspektasi yang rendah. Buat sebagian orang ini terlihat mudah dipahami namun sulit dipraktekan, buat sebagian lain prinsip ini bahkan tidak bisa diterima sama sekali. Namun di situlah triknya.
Ketika saya melakukan interview di startup X ini, saya menceritakan kepada CTO nya bahwa saya tertarik mempelajari bagaimana sistem finansial berjalan, dan saya juga tertarik dengan edukasi yang mana sangat natural bagi saya. Nenek saya adalah guru bahasa Inggris dan Ayah saya adalah Guru Sekolah Dasar. Dua hal tersebut adalah pilar penting dalam membangun startup X. Saya juga menceritakan bahwa saya memiliki pengalaman bekerja di dunia pendidikan dengan lembaga non-profit bernama Open Learning Exchange (OLE), saya menceritakan bahwa tim teknologi OLE dipimpin oleh seorang yang aktif di gerakan One Laptop Per Child. CTO startup X juga menceritakan bahwa dia pernah aktif di gerakan yang sama. Karena saya masih menjalin hubungan baik dengan tim di OLE saya menceritakan soal itu, siapa tahu mereka saling kenal. Namun, tim dari OLE menceritakan kepada saya bahwa banyak orang yang mengaku-ngaku ikut gerakan One Laptop Per Child hanya untuk terlihat baik. Waktu itu saya tidak begitu menghiraukan saran dari tim OLE, saya tetap masuk startup X.
Di hari pertama saya bekerja di startup X, CTO nya menceritakan kepada saya bahwa istrinya akan pindah ke Berlin beberapa bulan ke depan, yang mana itu berarti dia akan mengikuti istrinya pindah. Saya masih berpikiran baik saat itu sampai akhirnya tiba ketika sang CTO mengumumkan akan meninggalkan startup X setelah dua bulan saya bekerja, saya tidak kaget lagi. Pengalaman di hari pertama ini akan menjadi awal cerita dari tantangan dan perpisahan-perpisahan yang saya alami selama di startup X. Mungkin ada benarnya teman saya di OLE bahwa banyak orang yang mengaku-ngaku bagian dari One Laptop Per Child hanya untuk terlihat baik.
Setelah melihat ke 9 bulan terakhir saya menjadi sadar bahwa pengalaman saya di dua perusahaan sebelumnya Midtrans dan Go-Jek merupakan pengalaman yang sangat langka. Kombinasi dari manajemen yang baik dan budaya yang memberikan nilai tinggi pada individu, tidak hanya jargon namun benar-bentar terasa dalam kehidupan sehari-hari. Cerita startup yang dirintis oleh beberapa orang, beberapa pegawai awal masuk, kemudian startup menjadi besar, dan kemudian jerih payah terbayar semua adalah cerita startup terbaik. Mungkin hanya 1 dari 1000 atau 1 dari 10000 startup di luar sana, kebanyakan startup gagal. Jadi jangan berekspektasi terlalu tinggi ketika masuk ke early-stage startup.
Pelajaran #2: Nikmati Petualangannya
We’re too soon old, too late smart. -The Dutch saying
Bekerja atau berwirausaha pastinya selalu ada masa naik dan turun ada ups and downs, tapi yang nikmat atau menyenangkan adalah proses dan perjuangan yang kita alami. Bekerja di early stage startup juga sama selalu akan ada ups and downs tapi itu yang membuat kita lebih kuat dan lebih bijaksana dari sebelumnya.
Selama di sini ada satu projek atau masa terbaik yang saya alami yaitu ketika saya dan teman kerja saya bahu-membahu untuk mensukseskan project perusahaan untuk membuka cabang atau subsidiary di Filipina. Hanya 5 hari, kita berhasil membangun produk awal untuk cabang di Filipina. Saya hanya membantu sedikit di sini namun saya bahagia bisa membantu berjalannya launching produk ini dengan baik.
Pelajaran #3: Jangan Lupa Jaga Kesehatan
“kerja sewajarnya
kalo sakit, mati, keluarga yg sedi
kantor mah tinggal cari karyawan lagi”
oleh @_sambas
Satir di atas menggambarkan bagaimana budaya workaholic atau senang kerja sudah mulai menyebar di Indonesia. Tidak ada yang salah dengan workaholic yang saya tekankan di sini adalah pentingnya menjaga kesehatan sebagaimana orang bilang, “mens sana in corpore sano”, atau jika diartikan “dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”. Jadi jangan lupa utamakan kesehatan.
Salah satu inisiatif yang saya lakukan adalah membentuk budaya dan kesadaran akan kesehatan kepada teman-teman saya yang lain. Saya mengawali program plank standup. Yaitu melakukan plank ketika kami melakukan rutinitas standup atau memberi kabar harian kepada semua anggota tim. Plank standup ini tidak berjalan lagi karena satu dan lain hal, namun semangat untuk menjaga kesehatan harus tetap dijaga melalui olahraga yang cukup, makanan yang baik dan tidur yang cukup.
Pelajaran #4: Jalin Hubungan Baik dengan Teman Kerja
“If you can’t pay it back, pay it forward.” —Catherine Ryan Hyde
Salah satu yang membuat kamu semangat bekerja di suatu perusahaan adalah teman-teman yang saling mendukung dan saling menyemangati. Membentuk budaya tersebut adalah hal yang sangat sulit. Jalin hubungan baik dengan setiap anggota tim, suatu saat nanti mungkin kita akan sangat membutuhkan mereka.
Salah satu cara yang saya lakukan adalah membentuk budaya fun dengan membawa beberapa board game yang saya miliki ke kantor sebagai suatu bentuk investasi kepada suasana kantor yang lebih baik dan menyenangkan. Terbukti bermain game adalah salah satu cara menyenangkan untuk membentuk ikatan tim yang kuat. Bahkan bermain board game bisa menyentuh lebih dari sekedar teman kerja, suami dari Co-Founder di startup X juga pernah bermain bersama kami.
Ikatan pertemanan juga bisa dibangun dengan aktivitas di luar kantor. Misalnya beberapa bulan lalu kami bertamasya bersama ke Singapura bersama teman-teman satu kantor dan itu sangat menyenangkan.
Pelajaran #5: Jangan Memberikan Harapan Tinggi pada Orang Lain
“You can do anything, but not everything.” -David Allen
Saya percaya bahwa sebagai individu untuk mengurangi rasa kecewa di masa depan saya harus memiliki ekspektasi yang rendah pada orang lain dan memberikan standard yang tinggi pada diri sendiri. Namun, sama pentingnya adalah menjaga ekspektasi orang lain. Memberikan harapan atau estimasi pekerjaan yang tidak masuk akal adalah undangan untuk mengalami perpecahan dalam suatu tim. Mengatur ekspektasi orang lain dan tidak memberikan harapan yang tinggi atau tidak masuk akal adalah salah satu cara untuk tidak membuat orang lain kecewa. Saya percaya bahwa kita tidak bisa membuat semua orang senang, tapi saya percaya setidaknya kita bisa tidak membuat orang lain kecewa.
Pelajaran #6: Ada Pertemuan ada Perpisahan
Saya percaya bahwa hal-hal di dunia ini selalu berpasang-pasangan. Ada laki-laki ada perempuan, ada senang ada sedih, ada datang ada pergi. Sama halnya ketika kita bertemu teman baru, atau tim baru di suatu perusahaan, kemungkinan besar pertemuan kita dengan mereka tidak akan selamanya. Mereka akan pergi suatu hari nanti. Saya sempat lupa dengan prinsip ini ketika startup X mengumumkan PHK ke sebagian besar karyawan dan saya merasa sedih dan down berbulan-bulan. Kembali ke pelajaran sebelumnya, jangan berekspektasi terlalu tinggi, nanti kita yang kecewa.
Dimulai dari CTO pergi, senior engineer pergi, product manager pergi, dan PHK besar. Namun perpisahan ini saya percaya untuk kebaikan banyak orang. Suatu hari nanti ketika saya membangun berwirausaha sendiri saya sudah dibekali beberapa pelajaran penting ini.
Pelajaran #7: Kadang Lebih Baik Cari yang Sudah Product/Market Fit
Hal lain yang saya pelajari selama di sini adalah ketahuilah dirimu. Bangun kesadaran diri yang tinggi (self awareness), di manakah tempat yang cocok untuk saya? Apakah perusahaan yang baru dirintis, apakah perusahaan yang sedang berkembang atau perusahaan yang sudah maju dan mapan. Tiap orang punya karakteristik unik yang terbentuk dari cara mereka dibesarkan, belajar, dan pandangan pribadi. Jadi kalau yang cocok untuk kamu adalah perusahaan yang sudah mapan atau corporate, tidak masalah, mungkin itu yang terbaik. Kalau kamu lebih suka berwirausaha, berwirausahalah.
Jadi tidak ada salahnya untuk mencari perusahaan yang sudah berkembang atau sudah memiliki sinyal yang kuat bahwa perusahaan telah mencapai Product/Market Fit. The Starup dalam artikelnya How to Find Out if an Employer Has Product/Market Fit menjelaskan bahwa pegawai sebaiknya mengambil definisi yang lebih konservatif dalam menentukan Product/Market Fit dari calon perusahaan tempat dia akan bekerja. Kriteria yang disarankan adalah
- Menghasilkan revenue sekitar $100M per tahun
- Perkembangan revenue pada 40% year-over-year (YoY)
- Bercita-cita untuk mencapai multi-milyar dollar total pasar yang dapat ditangani (TAM: Total Addressable Market)
- Diuntungkan oleh unit ekonomi positif: nilai seumur hidup pelanggan lebih besar dari biaya akuisisi (LTV > CAC)
Pelajaran #8: Kembali Ke Prinsip Dasar dan Nilai yang Kamu Percaya
“Work with people that believe what you believe” -Simon Sinek
Simon Sinek, salah satu ahli di bidang leadership and budaya perusahaan. pernah bilang bekerjalah dengan orang yang percaya apa yang kamu percaya. Saya belajar di startup X bahwa selalu ada saat naik dan saat turun, ada ups and down, tapi ketika kita bertubi-tubi mendapatkan down dan ternyata pemimpin yang kita “bantu” ternyata tidak memiliki kepercayaan yang sama dengan kita untuk apa kita perjuangkan. Saya percaya bekerja dengan orang yang percaya akan apa yang kita percaya lebih menyenangkan.
“Your time is limited, so don’t waste it living someone else’s life. Don’t be trapped by dogma - which is living with the results of other people’s thinking. Don’t let the noise of other’s opinions drown out your own inner voice. And most important, have the courage to follow your heart and intuition. They somehow already know what you truly want to become. Everything else is secondary.” -Steve Jobs
Waktu kita singkat, walau saya percaya bahwa hal yang besar butuh perjuangan, tapi kalau dalam melakukan itu kita malah lebih banyak menghasilkan hal buruk dibanding hal baik (more harm than good) untuk apa diteruskan. Seperti apa yang Steve Jobs pernah bilang, waktu kita terbatas, jangan buang waktu hidup di kehidupan orang lain, di cita-cita orang lain.
Pelajaran #9: Jangan Diambil Terlalu Serius
Saya ingat waktu saya bekerja di Midtrans, saya melakukan pertemuan one-on-one dengan manajer saya dan saya menceritakan bahwa saya tidak bisa perform dengan baik dan saya bingung kenapa. Bos saya itu bilang, hal buruk apa yang terjadi ketika kamu tidak berhasil menyelesaikan projek saya. Kalau tidak ada ya tidak masalah, saya bisa ambil projek lain yang lebih penting dan lebih mungkin tercapai (achievable). Kembali ke startup X, karena saya hanya karyawan, pada akhirnya perusahaan ini bukan perusahaan saya, jika perusahaan ini tidak mau diberi masukan, tidak mendengarkan pegawai atau orang-orang di dalamnya bukan salah saya jika teman-teman atau saya pun pergi untuk mencari hal yang lebih baik.
Saya bisa mati-matian berusaha keras untuk perusahaan agar bisa maju. Saya bisa mencoba membangun budaya yang menyenangkan, sehat, dan memiliki ikatan yang kuat. Tapi, karena ini bukan milik saya dan bukan impian saya, semua dikembalikan kepada manajemen di atas. Tugas kita sebagai karyawan adalah mencoba memberikan yang terbaik pada kapasitas kita.
Semoga ada manfaat yang bisa diambil dari pengalaman yang saya alami.