Belajar dari Kesalahan Orang Lain, 4 Hal yang Membuatnya Sulit

Belajar dari Kesalahan Orang Lain, 4 Hal yang Membuatnya Sulit


Warren Buffet, investor-miliuner terkemuka pernah bilang, “… about learning from your mistakes, best thing to learn from other guys mistakes. Patton used to say, it’s an honor to die for your country, make sure the other guy gets the honor.”.

Jika diterjemahkan, “… soal belajar dari kesalahan kita, paling baik kalau kita belajar dari kesalahan orang lain. Patton (pen: seorang Jendral Amerika) pernah bilang, suatu kehormatan mati untuk bangsa kita, pastikan orang lain mendapatkan kehormatan itu (pen: pastikan musuh yang mati).

Kemudian kalau kita menganalogikan ini ke dalam kasus belajar dari diri sendiri, kita bisa bilang menyenangkan sekali sih belajar dari kesalahan diri kita sendiri, tapi biar orang lain saja yang mendapatkan kesenangan macam itu, biarkan orang lain yang berbuat salah, kemudian kita belajar dari itu, itu juga menyenangkan kok.

Kenapa Belajar dari Kesalahan Orang Lain

Saya pertama kali mengetahui konsep ini dari salah satu YouTuber terkemuka yang menjelaskan bahwa manusia itu simulation machine atau mesin simulasi, kita bisa menggunakan kepala kita untuk membayangkan kemungkinan, memprediksi suatu keadaan dari informasi yang kita terima. Jadi ketika Warren Buffet bilang belajar dari kesalahan orang lain itu lebih baik, itu sangat masuk akal sekali untuk saya. Lalu mengapa kita cenderung tidak menggunakan strategi ini? Saya ingin membahas 4 hal yang membuat belajar dari orang lain itu sulit, diantaranya, kadang orang lain yang pernah berbagi pelajaran atas suatu kesalahan adalah bukan orang yang kita hormati, tidak kita kagum, tidak terkenal atau dia lebih lemah dari kita; manusia memiliki excessive self-regard bias atau bias harga diri yang berlebihan; kemudian mengomentari lebih mudah dibanding menyadari kesalahan; dan komunikasi yang kurang baik.

Orang yang berbagi pelajaran bukan orang yang kita hormati

Seringkali terjadi di kehidupan kita, orang lain mencoba mengingatkan kita kalau mereka sudah pernah melakukan suatu kesalahan dan kita sedang atau akan melakukan kesalahan itu, dan menyarankan kita langkah yang sebaiknya diambil. Namun karena dia kurang begitu pintar dari kita, kurang pengalaman dari kita, kurang kaya dibanding kita, kemudian kita tidak mendengarkan saran dari mereka. Atau mungkin kita ada di sisi sebaliknya, kita ingin mengingatkan namun karena kita kurang pengalaman, lebih muda, orang yang kita beri saran cenderung tidak mendengarkan.

Saya pernah mengalami situasi di mana saya sudah mengingatkan orang tersebut jauh di awal, namun orang itu tidak mendengar, namun setelah beberapa hari, kemudian dia kembali dan mengatakan hal yang sudah pernah saya katakan.

Saya belajar bahwa solusi untuk masalah ini adalah menyadari bahwa orang lain juga ingin sekali didengarkan dan dimengerti sebagaimana kita juga ingin didengarkan dan dimengerti. Pada akhirnya menyenangkan bukan orang lain yang berbuat salah namun kita juga mendapatkan pelajaran dari kesalahan itu.

Harga Diri yang Berlebihan

Salah satu hal yang membuat orang tidak ingin mendengarkan atau mengambil pelajaran dari orang kesalahan orang lain adalah karena kita kadang merasa terlalu yakin dan terlalu percaya diri pada diri kita sendiri. Kadang harga diri kita merasa tersentuh kalau orang lain mencoba memberikan saran kepada kita. Apalagi kalau pembaca adalah orang yang sangat pintar, berbakat atau di atas rata-rata, sangat sulit untuk menerima bahwa belajar dari kesalahan orang lain bisa menjadi salah satu cara agar kita bisa mencapai tujuan kita lebih efisien.

Mengomentari lebih menyenangkan dibanding menyadari

Sebagaimana peribahasa mengatakan, “Gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan terlihat”, seringkali kesalahan orang lain memang gampang terlihat dibanding kesalahan kita. Kita dengan mudahnya mengatakan kepada orang lain bahwa langkah yang dia ambil tidak tepat karena kita sudah pernah mengambil langkah itu sebelumnya. Namun, ketika kita sendiri yang terjebak melakukan kesalahan yang pernah dilakukan orang yang pernah mengingatkan kita, kita tidak sadar. Singkatnya menyadari orang lain reinventing mistakes (pen: membuat kesalahan lagi) lebih mudah dibanding menyadari kalau kita yang sedang reinventing mistakes. Kadang membuktikan atau menyatakan kepada orang lain bahwa kita benar sangat menyenangkan, saya juga sering terjebak dalam situasi ini.

Kurangnya komunikasi yang baik

Seorang penulis dari Amerika, Deborah Tannen, membahas dalam bukunya The Argument Culture, kultur kita saat ini terutama kultur publik khususnya di Amerika (namun terjadi juga di Indonesia), orang cenderung menggunakan mode komunikasi debat atau argumen. Setiap isu publik yang muncul ke media selalu ditanggapi oleh media dengan mengambil pandangan ekstrim dari dua kubu yang berbeda pendapat, komunikasi menjadi lebih kepada debat, yang tujuannya adalah siapa yang menang, siapa yang kalah.

Solusi dari masalah ini adalah sebagai masyarakat kita harus memulai berpindah dari argument culture kepada dialogue culture, suatu budaya yang mengedepankan dialog, berbeda dengan debat yang ingin mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah, kultur dialog, lebih mementingkan pelakunya untuk belajar dari lawan bicara, dan memahami isu yang sedang dibicarakan dan mempelajari proses berpikir dan kesimpulan yang diambil oleh lawan bicara. Komunikasi menjadi lebih efektif karena masing-masing komunikator bertujuan untuk belajar dari satu sama lain.


Belajar dari kesalahan orang lain merupakan konsep yang tidak asing di kepala kita, namun manusia secara natural cenderung menghidari itu. Belajar dari kesalahan orang lain bukan berarti kita ingin tidak pernah berbuat salah, pasti kita akan berbuat salah, namun dengan belajar dari kesalahan orang lain, kita menghindari membuat kesalahan yang tidak perlu.